Thursday, October 12, 2017

...

Socialtrip Kurbanesia: Dari Dompet Dhuafa untuk Yogyakarta

Travel Bring Power and Love Back to Your Life ~ Rumi
Perjalanan akan membawa kembali kekuatan dan cinta dalam hidupmu. Percaya nggak? Awalnya saya nggak percaya. Sampai saya melakukan perjalanan ini, fiks apa yang Rumi bilang 100% bener banget. Entah udah berapa tahun nggak pernah ngetrip ke luar kota. Tiap malam berkutat dengan deadline dan tesis yang memusingkan.

Alhamdulillah, Allah tahu banget kalau manusia yang satu ini butuh recharge energi. Nggak nyangka, saya terpilih menjadi salah satu pemenang best blog post Kurbanesia Dompet Dhuafa. Pengalaman seputar kurban di THK Dompet Duafa yang saya tuangkan dalam blog, ternyata membuat saya bisa ikut Sosiotrip Kurbanesia.


Awalnya sempet dag dig dug mau dikirim kemana, secara kata mama saya anak yang nggak bisa pergi jauh #ehh. Sembalun, Yogyakarta, dan Aceh, semuanya kota yang indah dan belum pernah saya kunjungi.

Takdir Allah memang terbaik, saya terpilih mengunjungi kota yang banyak orang bilang never ending stories. Yogyakarta. Kota yang indah, sejuk dan penuh cinta. Banyak sisi lain yang saya lihat dari Jogja, yang tentunya tak akan bisa saya lupakan.

Hari Pertama: Welcome to Yogyakarta


Tiba di Bandara Adi Sucipto Yogya, saya dan tim (Mba Dea dan Mas Al) disambut Mas Dhany, Perwakilan Dompet Dhuafa Jogja. Orangnya ramah, humble dan humoris. Sepanjang perjalanan mas Dhany banyak bercerita tentang kehidupannya di Yogya.

Rumah Susu Dompet Dhuafa

Hari pertama, kami isi dengan mengunjugi Rumah Susu dan kandang ternak Dompet Dhuafa serta salah satu rumah peternak di daerah Umbulharjo, Sleman. Saya juga berkesempatan merah susu sapi langsung. Sekilas terlihat mudah, tapi nyatanya susah. Harus tahu tekniknya dan tentunya pakai hati >_<.


kandang ternak Dompet Dhuafa, Bersih yaaa ^_^


Selesai berkunjung, saya, Mba Dea, Mas Al dan Mas Dhany, wisata kuliner ke Kopi Klotok. Desain tempatnya yang homey, penuh dengan nuansa kayu, terlebih di dindingnya banyak testimoni artis yang bikin saya penasaran dengan rasa makanannya.

Makan di sini juga butuh perjuangan lho, karena antriannya cukup panjang. Menu makanannya khas Yogya, ada aneka Gudeg, telor dadar goreng kering yang spesial. Dan kata orang, pisang goreng dan kopinya juara.

Hari Kedua: Istimewanya Idhul Adha di Yogyakarta

Pagi sekali, Mas Dhany sudah menjemput kami di hotel untuk sholat Id di masjid dekat lokasi distribusi kurban. Selesai solat, kami bersilaturahmi dengan warga sekitar. Entah kenapa di momen itu hati saya sedikit terharu, saya melihat orang-orang di sana begitu ramah dan menyenangkan, beda sekali dengan karakter orang Ibukota yang cenderung individual.

selepas solat Id di Desa Umbulharjo

Sambil menunggu prosesi pemotongan kurban, saya berkesempatan sharing dengan salah satu peternak binaan Dompet Dhuafa, Mbah Misman Namanya. Beliau banyak bercerita kepada saya bagaimana perjalanan beliau sampai akhirnya menjadi peternak sapi perah seperti sekarang.

Dahsyatnya Erupsi Merapi 2010 yang dicapture menjadi postcard

Ceritanya bermula, saat erupsi Merapi beberapa tahun lalu. Rumah rusak, mata pencaharian hilang, dan semua yang ia punya habis. Tapi ia tetap bersyukur, tak ada satupun keluarganya yang menjadi korban. Dari ceritanya, satu hal yang bisa saya simpulkan. Betapa manusia begitu kecil di hadapan Sang pencipta, apa yang kita punya sekarang tak ada jaminan esok masih ada.

prosesi pemotongan kurban di Desa Umbulharjo

Tepat setelah shalat jumat, prosesi pemotongan kurban di gelar. Awalnya excited banget bisa liat prosesi kurban dari dekat. Jeprat jepret foto sana sini, tapi ternyata begitu lihat darah ngalir dari leher mbeknya, nggak kuat dan langsung mual 😢.

membantu warga memotong daging kurban

Selesai penyembelihan saya diajak tim ke tempat pemotongan dan pembungkusan daging kurban. Saya membantu ibu-ibu di sana sambil sesekali mengajak mereka ngobrol seputar kegiatan sehari-hari yang biasa mereka lakukan. Mereka begitu ramah dan terbuka, bahkan senyum tak pernah lepas dari wajah mereka.


mendsitribusikan daging kurban pada yang warga di Desa Umbulharjo

saya dan mba dea berbincang dengan salah satu penerima kurban

Hari Ketiga: Dari Grand Plunyon sampai Klangon

Sekitar jam 8 pagi, Mas Dhany sudah datang ke hotel tempat kami menginap. Agenda kami di hari ketiga adalah Grand Plunyon dan Klangon.


saya, Mba Dea, Mas Al, dan Mas Dhany (kacamata)

Grand Plunyon adalah kawasan wisata yang terletak di Desa Umbulharjo, Kecamatan Sleman. Tempat yang indah dengan landscape berupa perbukitan yang ditumbuhi pohon pinus di kiri-kanannya. Selain pemandangan berupa bukit yang hijau, keberadaan Kali Kuning juga menambah romantis suasana di sekitarnya.

jembatan di atas Kali Kuning, Grand Plunyon

Terlebih, di atas aliran Kali Kuning tersebut membentang jembatan yang masih berdiri kokoh, meski pernah diterjang awan panas Merapi.

landscape perbukitan di grand Plunyon

Belum puas dengan Grand Plunyon, kami memutuskan untuk menyaksikan sunset di Klangon. Perjalanannya sangat menghabiskan energi, berkelok kelok dan cukup terjal. Tapi semua itu terbayar ketika tiba di Bukit Klangon. Sayangnya, cuaca sedang tidak bersahabat dan Merapi malu-malu bersembunyi di balik Kabut.

rindu klangon

Klangon, lokasi wisata yang terletak di Desa Glagaharjo, Sleman, ini hanya berjarak 5 km dari puncak Gunung Merapi. Dari sini bisa terlihat jelas cekungan sungai yang menjadi jalur utama erupsi Merapi tahun 2010 lalu.

4 sekawan >_<

Duduk dan bersantai di tengah hamparan pemandangan indah Bukit Klangon seperti kenikmatan yang hakiki. Dalam hati saya berkata, betapa kurang bersyukurnya saya, yang sering mengeluh akan masalah dan beban pekerjaan, sementara di luar sana Allah anugerahkan tempat-tempat indah yang selama ini saya sia-siakan.

senyum kegirangan karena bisa liat pemandangan indah di Klangon

Hari Keempat: Kraton Jogja, Taman Sari dan Candi Ratu Boko yang Mempesona.

Pagi-pagi sekali, saya bersama seluruh tim Dompet Dhuafa, yang terdiri dari 8 orang, mengunjungi Kraton Yogya, Taman Sari dan Candi Ratu Boko. Ke 3 lokasi wisata tersebut akan kami jelajah dalam waktu satu hari.

Begitu tiba di Kraton Yogya, sinar matahari terasa panas membakar kulit. Cuaca yang jauh berbeda dengan yang saya rasakan di Umbulharjo kemarin. Banyak sekali turis lokal dan mancanegara yang saya temui.

di Kraton Yogya bersama Mba Dea dan Mba Dita 

Kraton Yogya, menurut saya adalah salah satu representasi kebudayaan Jawa. Di sana kita bisa melihat pergelaran tarian Jawa yang berisikan berbagai cerita (babad tanah Jawa, epic Ramayana, dll). Suara gamelan yang mengalun indah bercampur bait-bait merdu lagu Jawa yang dilantunkan sinden dan warangono Kraton Yogya juga menambah sakral suasana, seperti surga bagi para pecinta budaya Jawa.

Ada satu hal yang menurut saya unik sekali, setiap melewati Kedhaton (tempat bertemunya Raja dengan Pemangku Kraton) saya lihat para abdi dalem selalu berjalan mundur. Ketika saya tanya apa alasannya, dengan bahasa jawa yang khas mereka menjawab; Abdi dalem dilarang untuk mungkur (membelakangi Kedhaton) karena Kedhaton merupakan simbol Raja, dan begitulah salah satu cara mereka menghormati Raja.

Taman Sari yang begitu asri

Dari Kraton Yogya, kami lanjutkan trip ke Taman Sari. Hanya berjarak 1 km dari Kraton, kami disambut arsitektur indah istana air Taman Sari. Konon katanya, dulu nggak boleh ada masyarakat atau orang lain yang memasuki kawasan Taman Sari, karena taman ini memang diperuntukkan untuk Raja beserta anggota keluarganya. Namun, kini masyarakat bisa menikmati keindahan bangunan yang bernilai seni tinggi itu.


Jembatan Lima, Kraton Yogyakarta

Formasi Lengkap ^_^

Terdapat berbagai bangunan bersejarah di dalam taman ini, seperti; kolam pemandian, jembatan gantung, hingga danau buatan. Sebenarnya keseluruhan Taman Sari membentang dari sebelah barat daya Kraton Yogyakarta hingga tenggara kompleks Magangan. Namun sayang, sebagian besar bangunan tersebut kini hanya tinggal reruntuhan akibat tragedi meletusnya Gunung Krakatau pada abad 18 silam. Walaupun demikian, masih ada bagian bangunan yang hingga kini berdiri kokoh dan masih bisa dinikmati keindahannya oleh wisatawan.

Water Castle Yogyakarta

Menjelang senja, kami putuskan untuk mengejar sunset di Candi Ratu Boko. Lokasinya yang berada di perbukitan memungkinkan kami bisa menikmati indahnya sunset di sana. Berkeliling di Candi Ratu Boko, di mana terhampar bongkah batu andesit abu-abu kehitaman yang menyusun keindahan bentuk candi, seolah mengajak kami bertafakur.

Candi Ratu Boko yang mempesona

Hamparan keindahannya seakan bercerita tentang sejarah kejayaan sang Ratu dan para biksu di masa lalu. Meski batu-batu itu tak mampu bertutur apapun, tapi dari formasi-formasi tempat mereka berada, telah mencerminkan kedalaman alur cerita sejarah yang indah.

saya dan Mba Dita

Lepas Magrib, kami meninggalkan Ratu Boko, untuk menuju ke pusat oleh-oleh dan mampir ke Pasar Beringharjo. Puas membeli oleh-oleh, kami makan malam di angkringan yang ada di sekitaran Tugu Yogya.

Malam di Yogya ternyata tak ubahnya dengan malam di Ibukota Jakarta, hidup dan ramai. Semoga nafas modern yang kini ada di Kota Yogya tak mengubah keindahan adat dan budaya di sana.

Hari Kelima: Pulang ke Jakarta

Tak banyak yang kami lakukan di hari terkahir di Yogyakarta. Lepas sarapan pagi, kami bertolak ke Bandara Adi Sujipto, untuk mengejar penerbangan kami di pukul 9 pagi. Lepas Zuhur, saya, Mba Dea dan Mas Al tiba di Bandara Soekarno Hatta. Walau raga sudah tiba di Jakarta, tapi entah kenapa hati dan pikiran masih terpaut di Yogyakarta.

Terimakasih Mas Dhany, Mas Al, dan Mba Dea

Saya percaya, sejatinya perjalanan adalah tentang memaknai kehidupan. Bersama-sama melakukan perjalanan dengan Mba Dea, Mas Al, dan Mas Dhany membuat saya semakin mensyukuri hidup. Terlebih, perjalanan di Yogyakarta kemarin bukan hanya sekedar senang-senang, ada misi sosial yang saya bawa dan hendak saya sampaikan pada pembaca, bahwa dengan berbagi pada sesama hidup kita akan lebih bahagia dan berguna.

Betapa prosesi kurban yang menurut sebagian kita hanya rutinitas tahunan, di sana seperti menjadi nafas kehidupan. Bukan hanya bagi para peternak tapi juga bagi masyarakat yang terbilang jarang makan enak. Melalui postingan ini, rasa terimakasih yang teramat dalam hendak saya sampaikan pada Mba Dea, Mas Al, Mas Dhany, Mbah Misman, dan segenap tim Dompet Dhuafa, serta orang-orang yang saya temui di sana. Terimakasih telah menjadi bagian indah dari perjalanan hidup saya.

kangen Yogya







No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah mampir. semoga bermanfaat ^_^
Jangan lupa tinggalkan komen yaaa ;D