Padahal hanya berjarak 1 jam dari Kota Bekasi, tapi daerah yang aku kunjungi ini, sungguh membuatku meneteskan air mata. Yup, sebulan lalu, aku berkesempatan menjadi fasilitator dan memberikan sosialisasi mengenai bahaya hoax digital pada lansia di daerah Muara Gembong, Bekasi.
Ada sekitar 100 lansia berkumpul di area yang sudah di tentukan. Mereka sangat antusias menyambut kedatangan kami. Para lansia tersebut kemudian dibagi dalam 10 kelompok kecil, yang masing-masing berisi 10 lansia.
Kebetulan aku mendampingi kelompok 8, yang semuanya adalah nenek-nenek. Saat sedang serius memberikan penyuluhan dan menjabarkan fakta hoax digital melalui media ajar yang kubawa, mereka tampak tak mengerti. Seketika aku tersentak, ternyata 8 dari 10 lansia dari kelompokku buta huruf.
Jangankan menggunakan gadget, mereka sama sekali tak bisa baca dan tulis. Hatiku rasanya nelongso. Nggak kebayang bagaimana mereka menjalani kehidupan sehari-hari tanpa baca dan tulis. Padahal, membaca adalah jendela dunia.
Seketika pikiranku melayang, apakah ini yang membuat kondisi ekonomi mereka jauh di bawah garis kemiskinan? Hal ini terbukti, saat aku membagikan sembako selesai penyuluhan. Mereka mengucapkan terimakasih dengan penuh rasa haru, sambil mencium tanganku. Ya, mencium tanganku.
Seorang nenek, mencium tangan anak muda hanya karena diberi sembako. Rasanya sungguh tak masuk akal. Tapi, dari kejadian ini aku sadar bahwa masih banyak masyarakat yang mengalami buta huruf.
Pulang dari kegiatan sosialisasi bahaya hoax digital, aku kemudian mendiskusikan pengalamanku pada keluarga. Ingin rasanya kembali bertemu dengan para lansia tersebut, namun bukan untuk memberikan penyuluhan hoax, melainkan mengajari mereka baca dan tulis.
Hal inilah yang kemudian membawaku berselancar ke dunia maya, mencari contoh dan inspirasi program berantas buta huruf yang telah sukses dilakukan. Sampai akhirnya aku mengenal Eko Cahyono.
Eko Cahyono, Sang Pembebas Buta Huruf dari Jawa Timur
Siapa sangka, di balik keteguhan seorang Eko Cahyono, ada cerita besar yang menyala dalam benak banyak orang. Eko Cahyono, seorang pria dari Malang, Jawa Timur, berhasil menggerakkan hati kita semua melalui perjuangannya mengentaskan buta huruf di kampung halamannya. Lewat kegigihannya, ia tak hanya membebaskan masyarakat dari kebutaan aksara, tetapi juga menumbuhkan harapan dan rasa percaya diri.
Aku pertama kali mendengar kisah Eko dari berita yang menampilkan para penerima penghargaan SATU Indonesia Awards. Awalnya, aku hanya berpikir, “Ini mungkin kisah umum tentang pendidikan.” Namun, semakin menyelami ceritanya, semakin besar rasa kagum terhadap sosok inspiratif ini. Ia bukan sekadar memberikan pelajaran membaca, tetapi ia juga membawa perubahan sosial yang sangat mendalam di desa yang selama ini mungkin luput dari perhatian banyak orang.
Eko mendirikan Perpustakaan Anak Bangsa, sebuah nama sederhana namun penuh makna, di rumahnya sendiri. Di tempat inilah ia merangkul anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa yang selama ini tidak memiliki akses untuk belajar membaca. Tak hanya itu, Eko berani merogoh koceknya sendiri demi menyediakan buku-buku bacaan yang layak bagi para warga. Ini bukan hal mudah, mengingat mayoritas warga desa berprofesi sebagai petani yang lebih terbiasa dengan hiruk pikuk sawah daripada duduk membaca.
Namun, Eko tidak menyerah. Dengan kesabaran luar biasa, ia mendekati setiap warga, memberikan pengajaran satu per satu, dan mengajak mereka mengalahkan ketakutan terhadap buku. Bahkan, dalam keterbatasannya, Eko berhasil menarik perhatian berbagai pihak untuk turut membantu perpustakaan yang ia bangun. Banyak buku kemudian datang dari donasi yang tak terduga, membuka kesempatan belajar lebih luas bagi masyarakat desa.
Yang paling mengharukan bagiku adalah melihat bagaimana Eko, dengan segala keterbatasannya, mampu membangun komunitas pembelajar yang tangguh. Para ibu rumah tangga dan anak-anak di desa kini semakin percaya diri, tidak hanya dalam membaca tetapi juga dalam memandang masa depan. Dari awal yang sederhana, Eko berhasil menyalakan api keingintahuan dan harapan di hati orang-orang sekitarnya.
Saat ini, perjuangan Eko telah membuahkan hasil nyata. Banyak dari anak-anak dan pemuda yang belajar membaca di perpustakaan tersebut kini bisa melanjutkan pendidikan lebih tinggi, dan beberapa bahkan menjadi penggerak literasi di desa lain. Eko telah menginspirasi kita semua untuk tidak menyerah pada keadaan. Bahwa untuk membuat perubahan, kadang kita hanya perlu satu langkah kecil yang berani dan konsisten.
Kisah Eko adalah pengingat bahwa, sekecil apa pun aksi yang kita lakukan, jika dilandasi cinta dan ketulusan, dapat membawa perubahan besar bagi orang lain. Membaca cerita Eko Cahyono, aku sadar bahwa setiap dari kita memiliki kesempatan untuk menjadi penggerak perubahan, sekecil apa pun langkah itu.
Semoga apa yang telah dilakukan Eko, bisa menjadi inspirasi diriku pribadi dan juga mungkin banyak orang di luar sana, untuk turut memberantas buta huruf di Indonesia.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah mampir. semoga bermanfaat ^_^
Jangan lupa tinggalkan komen yaaa ;D