Acara Piala Adhi Praya jadi sorotan di peringatan 1 tahun pemerintahan Prabowo–Gibran. Apa makna di baliknya? Siapa saja menteri yang mendapat penghargaan, dan bagaimana refleksi tahun pertama kabinet ini?
Belajar - Berbagi - Berprestasi
Acara Piala Adhi Praya jadi sorotan di peringatan 1 tahun pemerintahan Prabowo–Gibran. Apa makna di baliknya? Siapa saja menteri yang mendapat penghargaan, dan bagaimana refleksi tahun pertama kabinet ini?
Ada satu momen yang selalu bikin aku terharu tiap kali lihatnya: seorang ibu menyusui bayinya. Bukan cuma karena itu momen intim penuh cinta, tapi juga karena aku tahu, di balik aktivitas yang terlihat sederhana itu, ada perjuangan panjang, ada sistem yang (sayangnya) belum sepenuhnya berpihak, dan ada budaya yang sesungguhnya kaya akan nilai, tapi mulai tergeser oleh gempuran modernitas.
Tahun 2025 ini, Indonesia (dan dunia) masih punya PR besar soal menyusui. Pemerintah menargetkan cakupan ASI eksklusif sampai 80%, sementara WHO berharap global rate naik minimal 50% untuk bayi di bawah 6 bulan. Kedengarannya ambisius, tapi ketika melihat fakta bahwa gempuran susu formula masih super agresif, ruang laktasi di tempat kerja baru tersedia di sekitar 30% perusahaan (Data Kemenaker 2023), dan konseling menyusui sering mahal atau susah diakses, aku jadi sadar: perjalanan menyusui bukan cuma urusan ibu dan bayi, tapi sebuah ekosistem yang kompleks.
Ada satu hal yang selalu bikin aku amazed setiap kali baca cerita perempuan yang berani keluar dari zona nyaman: keberanian mereka untuk take charge dan bikin sesuatu yang impactful. Salah satunya aku temuin lewat kisah Anggiasari Mawardi (Anggi), founder Anggia Corp.
Anggi mulai bisnis fashion modest dari hal sederhana: kebutuhan busana. Tapi dari situ dia grow pelan-pelan, sampai akhirnya brand-nya bisa tembus pasar luar negeri, Filipina, Thailand, bahkan UK dan Perancis. Dari Bandung, karyanya bisa jalan-jalan ke dunia. And honestly, that’s the kind of story we need more of.
Tapi yang bikin aku reflektif bukan cuma soal fashion-nya. It’s about how she embraces digitalization. Di Anggia Corp, hampir semua lini udah digitalized, dari penjualan, layanan pelanggan, administrasi, sampai manajemen stok. Dan itu jadi game changer. Karena let’s be real, tanpa sistem digital, bisnis sekelas Anggia mungkin bakal stuck di level lokal.
Sebagai dosen sekaligus entrepreneur, aku sering melihat bagaimana teknologi mengubah cara kita bekerja, belajar, bahkan cara kita bermimpi. Digitalisasi bukan lagi sekadar tren, tapi sudah menjadi kebutuhan. Apalagi di dunia pendidikan, internet bisnis yang stabil bukan cuma soal akses, tapi soal keberlanjutan kualitas pembelajaran.
Beberapa waktu lalu, aku membaca cerita tentang SMK Vinama 2 Bekasi di akun Instagram @indibiz.id. Dari sana aku tahu bagaimana sekolah ini sudah menggunakan layanan High Speed Internet (HSI) Indibiz dari Telkom Indonesia. Sekilas terlihat sederhana: sekolah menggunakan internet bisnis. Tetapi bagi aku, ini adalah langkah strategis yang punya dampak jangka panjang.
Ada satu hal yang selalu bikin aku amazed tiap dengar cerita pebisnis lokal: gimana mereka bisa survive dan grow di tengah segala tantangan. Salah satu cerita yang nyangkut banget di aku adalah kisah Hadi, owner Mega Carpet Meikarta.
Kalau kamu dengar nama “Mega Carpet”, mungkin kesannya ya toko karpet biasa. But the truth? It’s so much more than that. Dari tahun 2014, mereka udah jadi tempat orang-orang cari segala jenis karpet, mulai dari karpet sajadah roll buat masjid, karpet permadani, sampai karpet kantor. Lengkap banget.
Tapi yang bikin aku terinspirasi bukan cuma produknya.
It’s how they embraced digitalization.
Pernah gak sih ngalamin momen worst nightmare pelaku usaha? Lagi enak-enaknya jalanin operasional, klien udah nunggu, tim udah siap, eh… tiba-tiba sistem error.
Semua langsung heboh. Chat grup rame. Telepon sana-sini. Dan di kepala cuma ada satu pertanyaan: “Gimana ini cara benerinnya secepat mungkin?!”
Di dunia bisnis, apalagi B2B, delay satu jam aja bisa bikin banyak hal keteteran. Ini bukan drama lebay, tapi realita. Karena kalau operasional macet, efeknya domino, mulai dari jadwal meeting mundur, orderan terhambat, sampai revenue yang harusnya masuk malah nyangkut.
Makanya, buat aku ngerasa, punya partner yang bisa backup bisnis kapan aja itu bukan cuma penting, tapi mandatory. Bukan cuma “respon cepat” di chat, tapi benar-benar datang, cek, dan beresin masalah. Nah, di sinilah aku merasa Telkom Indibiz Care itu game changer.