Sunday, June 2, 2024

...

Revitalisasi Cerlang Budaya Lokal dalam Membangun Karakter Bangsa sebagai Sarana Pemberdayaan Masyarakat


Indonesia, negeri yang kaya akan budaya dan tradisi, tengah menghadapi tantangan besar di era globalisasi. Di tengah gempuran budaya asing, kita sering kali melupakan akar budaya lokal yang sebenarnya merupakan harta tak ternilai. Namun, harapan tetap ada. Dengan revitalisasi cerlang budaya lokal, kita bisa membangun karakter bangsa yang kokoh sekaligus memberdayakan masyarakat. Tapi gimana caranya? 

Beruntung banget aku hadir dalam Fokus Grup Diskusi (FGD) Budaya dan Pemberdayaan di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), yang digelar oleh Dompet Dhuafa dan Bina Trubus Swadaya. FGD ini mengangkat tema "Revitalisasi Cerlang Budaya Lokal dalam Membangun Karakter Bangsa sebagai Sarana Pemberdayaan Masyarakat". 

Dalam acara ini, hadir tokoh-tokoh nasional untuk membahas formulasi budaya Indonesia dalam upaya memberdayakan masyarakat. FGD dibuka dengan sambutan dari ketua acara, yaitu Rahmad Riyadi yang menyatakan bahwa pertemuan dan diskusi ini penting untuk memahami perubahan budaya dan membangun jaringan silaturahmi antara pegiat budaya dan pemberdayaan masyarakat. Menurutnya, kebudayaan merupakan salah satu unsur penting dalam pemberdayaan masyarakat. 



Pada kesempatan yang sama, inisiator dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Dompet Dhuafa Republika Parni Hadi mengungkapkan kegelisahannya terhadap kemiskinan dan kemajuan Indonesia. Ia menyoroti bahwa bangsa Indonesia memiliki Pancasila yang luhur, tetapi dampaknya belum terasa nyata. Parni juga mengkritisi mental korup dan kemerosotan budi pekerti yang semakin marak di masyarakat. Ia menekankan pentingnya tindakan nyata dan langkah konkret yang bisa diterapkan. 

Sejalan dengan itu, Pendiri dan Ketua Pembina Yayasan Bina Trubus Swadaya Bambang Ismawan juga menyatakan komitmennya untuk terus melakukan pembinaan dan pemberdayaan masyarakat melalui Bina Trubus Swadaya. Meski sudah berdiri selama 57 tahun, Bina Trubus Swadaya merasa masih belum berdaya sepenuhnya. Hal ini mendorong mereka untuk membuka diri dan belajar bekerja sama, terutama dengan membangun budaya bersama Dompet Dhuafa. 

Oh iya, sebagai informasi, FGD Budaya dan Pemberdayaan ini bertujuan untuk memfasilitasi silaturahmi nasional antara pendukung budaya dan pemberdayaan masyarakat di Nusantara dalam mengumpulkan jejak pemikiran, nilai-nilai luhur, dan sikap terpuji dari para pemerhati budaya dan pemberdayaan masyarakat, serta mengidentifikasi budaya adiluhung, merumuskan karakter budaya di Nusantara, dan memformulasikan kebaikan budaya di Nusantara untuk mendukung upaya pemberdayaan masyarakat. 

Selain itu, FGD yang terdiri dari dua sesi diskusi ini juga bertujuan untuk melibatkan pendidikan tinggi dan masyarakat sipil dalam membangun budaya positif di masyarakat, serta untuk mencari model transformasi masyarakat melalui budaya. Nah, berikut ini rangkuman sesi diskusinya ya! 

Diskusi 1: Refleksi Budaya Lokal dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat dan Strategi Pemerintah 




Lepas sambutan, FGD kemudian masuk ke sesi diskusi 1 yang menghadirkan empat narasumber, yaitu Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Restu Gunawan, Guru Besar Universitas Hasanudin (UNHAS) Nurhayati Rahman, Anggota Dewan Pembina Dompet Dhuafa Yudi Latif, dan Praktisi Seni Film Garin Nugroho Riyanto

Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Restu Gunawan memaparkan peta indeks pembangunan kebudayaan di Indonesia. Data tersebut menunjukkan bahwa kesadaran terhadap budaya nasional sangat rendah. 

Ia mencontohkan beberapa kasus seperti minuman tradisional jamu, kosmetik skincare, dan pakaian batik. Meskipun jamu telah menjadi warisan kebudayaan dunia yang diakui oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), masyarakat modern saat ini jarang meminumnya, baik untuk menjaga kesehatan maupun saat sakit. 

Selanjutnya, Guru Besar UNHAS Nurhayati Rahman menjelaskan bahwa Indonesia memiliki kebudayaan yang sangat besar, menjadi satu-satunya negara di dunia dengan 1.000 suku dalam satu negara. Ia membuktikannya dengan mentranskrip naskah kuno I La Galigo yang tertulis di lembaran daun lontar sebelum era Islam. Meskipun naskah tersebut tercatat di beberapa negara seperti Amsterdam dan Belanda, UNESCO mengakui keberadaannya sebagai Memory of The World pada 2011. 

Nurhayati Rahman juga menyoroti perbedaan dengan Korea Selatan (Korsel) yang secara sistematis merancang industri kreatif berbasis budaya lokal, termasuk film, kuliner, dan musik. Korsel mengumpulkan orang-orang terbaik di bidangnya sehingga produk-produk mereka diminati terutama oleh para remaja di berbagai belahan bumi, termasuk Indonesia. 

Sementara itu, anggota Dewan Pembina Dompet Dhuafa Yudi Latif menyoroti budi pekerti yang merupakan perpaduan antara budaya dan perilaku. Banyak pergerakan di Indonesia dipelopori oleh gerakan-gerakan yang terinspirasi oleh budi pekerti, seperti gerakan Sumpah Pemuda dan lainnya. 

Diskusi 2: Best Practice Pengembangan Budaya Masyarakat 




Sesi diskusi 2 ini juga menghadirkan empat narasumber, termasuk Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi dari Keraton Yogyakarta, Maria Loreta dari Yayasan Agro Sorgum Flores, Andi Makmur Makka sebagai Anggota Dewan Pembina Dompet Dhuafa dan Perwakilan Bone, serta Ilham Khoiri dari Bentara Budaya Kompas. 

GKR Mangkubumi membahas revitalisasi kawasan Keraton Yogyakarta, menjelaskan tiga filosofi yang menjadi sumbu tatanannya. Pertama, Sangkan Paraning Dumadi, kredo utama Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) I, dengan fokus pada memanusiakan manusia dengan tujuan akhir yang adalah Gusti Allah. Kedua, Hamemayu Hayuning Bawana, yang menekankan keselarasan hidup dengan alam. Ketiga, Manunggaling Kawula Gusti, yang menyoroti persatuan antara pemimpin dan rakyat. Budaya Jawa menekankan kewajiban, toleransi, harmoni, dan memanusiakan manusia, baik secara pikiran maupun perasaan, serta menolak pengejaran kekuasaan. 

Pembicara lainnya, seorang penggerak penanaman sorgum di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) Maria Loretta membagikan pengalaman berjuang mengajak warga menanam sorgum di wilayah yang tandus dan berbatu-batu, tidak cocok untuk tanaman padi, jagung, atau palawija lainnya. 

Ia mengekspresikan kekecewaannya terhadap program pemerintah yang memaksakan penanaman padi atau jagung di Flores, yang jelas tidak cocok untuk lahan kering yang dipenuhi batu. Sebagai gantinya, Maria fokus pada pemberdayaan masyarakat dari sudut pandang ekonomi dengan memanfaatkan budaya tradisi Lamaholot. Berkat bantuan media, ia berhasil mendapatkan benih sorgum yang diperlukan, dan usahanya akhirnya berhasil. Sorgum yang dipanen kemudian diolah menjadi berbagai camilan atau sebagai substitusi beras. Maria juga menekankan bahwa pemberdayaan masyarakat sejalan dengan pemberdayaannya sendiri. 

Sebagai perwakilan Bone, Andi Makmur Makka menegaskan kembali bahwa dalam budaya Bugis, apa yang diucapkan harus diwujudkan, tanpa kesombongan akan kecerdasan atau keberanian. Konsep hubungan antara masyarakat dan pemimpin adalah bahwa masyarakat mengikuti pemimpin karena kerelaan, dan masyarakat memiliki kebebasan untuk meninggalkan pemimpin jika diperlukan. 

Sementara itu, Bentara Budaya Kompas Ilham Khoiri menyampaikan pesan tentang ‘Menjadi Indonesia di Tengah Pancaroba Budaya’ dalam presentasi yang dibawakan di acara tersebut. Kompas Group mengambil inisiatif dalam memodernisasi kearifan lokal melalui Bentara Budaya. Dalam analisisnya, beberapa dampak dari pancaroba budaya, termasuk hanya 13 persen dari populasi yang mengunjungi perpustakaan, rendahnya prioritas terhadap pendidikan, politik yang semakin pragmatis, meningkatnya kasus korupsi dan lemahnya penegakan hukum, serta tekanan terhadap media yang semakin kuat. 

Penutup 


Revitalisasi cerlang budaya lokal bukan hanya tentang nostalgia, tapi tentang masa depan. Dengan menjaga dan mengembangkan budaya lokal, kita tidak hanya membangun karakter bangsa yang kuat, tetapi juga memberdayakan masyarakat secara ekonomi dan sosial. 

Ini adalah investasi jangka panjang yang akan membawa Indonesia menjadi bangsa yang berkarakter dan berdaya saing tinggi di kancah global. Jadi, mari kita mulai dari sekarang, dari diri kita sendiri, dan dari hal-hal kecil di sekitar kita. Budaya adalah cermin identitas kita, dan dengan merawatnya, kita merawat masa depan bangsa!





No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah mampir. semoga bermanfaat ^_^
Jangan lupa tinggalkan komen yaaa ;D