Alkisah, ada
seorang tukang batu yang tengah sibuk memecah batu, ketika raja dan serombongan
pejabat istana lengkap dengan kereta kudanya melintas penuh wibawa. Tukang batu
yang nampak kelelahan itu mulai berandai-andai, betapa nikmatnya menjadi raja.
Jalan-jalan kesana kemari dengan kereta kuda yang penuh dengan wibawa.
“Duar”. Tuhan mengabulkan keinginannya. Berubahlah ia
menjadi raja. Ditengah pekerjaannya, ia dituntut untuk melakukan perjalanan
jauh yang melelahkan. Terik matahari mulai membakar kulitnya. Ia pun berpikir betapa enaknya jadi matahari
yang begitu leluasa mengatur panas kesana kemari.
“Duar”. Tuhan kembali mengabulkan permohonannya. Berubahlah
ia menjadi matahari. Tak berapa lama ia menyinari, datanglah awan yang menutupi
pancaran sinarnya. Ia pun mendengar
sorak sorai orang-orang menyambut awan sebagai pertanda turunnya hujan. Dan ia
kembali berandai, sungguh nikmat jika ia menjadi awan. Seketika itu Tuhan
mengabulkan permintaannya.
“Duar”. Berubahlah ia menjadi awan. Namun hal ini pun
tidak berlangsung lama. Ketika ia sedang asyik bersenda gurau dengan sang hujan,
datanglah angin yang mengusirnya. Ia merasa dilecehkan. Ia berharap kepada
Tuhan agar diubah menjadi angin. Tuhan yang baik hati kembali mengabulkan
harapannya.
“Duar”. Untuk kesekian kali tubuhnya melebur, dan kini
menjadi angin. Dengan kuasanya ia bebas menghembuskan angin sepoi-sepoi bahkan
menciptakan badai. Lama ia asyik bemain-main, akhirnya ia sadar. Ada satu benda
yang tidak bergeming walau sekencang apapun angin dan badai yang ia ciptakan.
Yaitu gunung.
Ia kembali
memohon agar tuhan mengubahnya menjadi gunung, dan “duar” sebuah gunung perkasa
dengan kokoh menjulang tinggi. Ia merasa bangga, kini takkan ada yang mengalahkan
keperkasaannya. Namun sayup–sayup terdengar ada orang yang sedang memukul
sesuatu. Ia merasa tidak asing dengan
suara itu, dan secara bersamaan ia merasakan sakit yang luar biasa. Ketika
sadar bagian tubuhnya dipukul-pukul oleh tukang batu, kesombongannya sekejap sirna.
Dan ia memohon untuk dikembalikan menjadi tukang batu.
Setiap manusia
dikaruniakan oleh sang pencipta kemampuan untuk menghasilkan yang terbaik bagi
lingkungannya. Komitmen tehadap kemampuan diri adalah cara yang terbaik untuk
mencapai kesuksesan. Namun sering kali kita menggunakan standart keberhasilan
dan kegagalan orang lain sebagai ukuran kesuksesan tanpa memperhatikan passion dan keahlian kita.
Adakalanya kita
harus belajar dari tukang batu. Keberhasilan orang lain yang nampak indah di matanya
ternyata hanyalah fatamorgana. Pada akhirnya ia memohon untuk dikembalikan
menjadi tukang batu. Mungkin begitu juga dengan kita. Sering kali kita
berandai-andai nikmatnya menjadi orang
lain, dan sejenak kita lupa bahwa tuhan pun menganugerahkan kita kemampuan yang
tak kalah hebatnya. Yang diperlukan hanyalah komitmen pada diri sendiri dan apa
yang sedang kita cita-citakan, sehingga kita akan disibukkan dengan peningkatan
diri untuk meraih kesuksesan tanpa terpengaruh oleh pencapaian orang lain.
Lalu dari mana
kita harus memulai komitmen kita? Komitmen dapat dimulai dari keseriusan
menekuni dan menjalankan profesi, tugas, maupun pekerjaan yang diamanahkan saat
ini, dengan memberikan kemampuan terbaik yang kita miliki. Sebagaimana Ungkapan
Marthin Luther King yang patut menjadi renungan, “jika seseorang terpanggil
menjadi tukang batu, hendaklah ia memecah batu sebagaimana Michael Angelo
melukis atau Beethoven menciptakan musik, atau Shakespeare menulis puisi.
Hendaklah ia memecah batu dengan sangat baik sehingga segenap isi surga dan
bumi serentak menghentikan kegiatan mereka dan berkata, di sinilah tinggal
seorang tukang batu yang agung, yang menjalankan tugasnya dengan sangat baik.”
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah mampir. semoga bermanfaat ^_^
Jangan lupa tinggalkan komen yaaa ;D